Misteri Raksasa Amburadul
By: Yeyen Robiah
"Arghhh...jangan dekati aku. Pergii...tolooooong...arghhh, tolooonngg...."
Dengan sisa sisa tenaga aku mulai berlari menyusuri lorong-lorong sepi. Rumah besar ini aku kenal sekali. Rumah mbah buyutku yang katanya masih keturunan abdinya Pangeran Diponegoro. Rumah dengan teras model Joglo terpancang empat tiang di setiap sudut nya. Masuk dari pintu depan, ada lorong panjang sampai ke bagian belakang rumah. Kanan kiri lorong berjejer tiga kamar dengan pintu jati berukir bunga merah di atasnya. Sebelum sampai belakang rumah, lorong ini terbagi dua, ke bagian kanan dan kiri. Ke kanan menuju pintu samping kanan yang di luarnya terdapat kebun palawija yang tidak terlalu luas. Di samping pintu kanan ada sebuah gentong air lengkap dengan batu kali sebagai alas kaki dan siwur atau gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang bambu kecil. Sebelum masuk rumah, biasanya kami cuci kaki dan tangan dari gentong ini. Di kebun ini biasanya Mbah buyutku memetik cabe, tomat, dll. Setiap 6 bulan sekali kami bisa panen singkong. Jadi cemilan sore teman ngopi favorit Mbah buyutku adalah telo godhog.
Ah, kenangan masa kecilku segera buyar ketika sosok raksasa itu muncul lagi. Dengan rambut acak-acakan, nafas terengah-engah dan keringat bercucuran, aku lanjutkan untukterus berlari. Lorong ini terasa panjang sekali. Sepintas kulihat darah segar menetes dari lutut kananku. Aku yakin ini tadi kena paku di pintu kamar belakang. Sosok besar hitam dengan wujud amburadul itu masih terus mengejar ku dengan langkah beratnya. Badannya yang besar penuh dengan rumbai-rumbai menjuntai terus bergerak maju menuju arahku. Diiringi Suara beratnya yang menyerupai deheman raksasa.
Nafasku tinggal satu satu ketika aku tak mampu lagi berlari karena perihnya luka di lututku ini. Terseok Seok terus bergerak menuju lorong sebelah kiri rumah mbah buyut.
" Ah, kenapa aku tak mengikuti nasehat mba Inem untuk tidak ke rumah Mbah buyut".
Aku meninju lantai yang tegelnya sudah banyak yang mengelupas. Mba Inem adalah pembantu mbah buyutku yang paling setia. Dia lah yang menemani Mbah buyut sampai tutup usia sedangkan keempat anaknya tak sempat pulang menemani beliau dengan alasan sibuk rapat, sibuk meeting dll. Dan aku adalah seorang cucu nya yang entah keberapa, yang sedang membutuhkan tempat nyaman untuk purik. Ah biar mas Pri bingung nyariin aku. Kalau ga purik dia ga bakalan peka. Pikirku.
"Huwahahahaha....hahaha....Huwahahaha...hahaha...mau lari kemana kamu"
Raksasa amburadul itu semakin mendekat. Bayangannya semakin jelas hitam legam dan besar. Lampu bohlam kuning yang sudah tidak terang lagi membantuku menerangi menyusuri lorong sebelah kiri. Kulihat di depan sana pintu keluar menuju samping kiri rumah ini. Tapi seingatku samping kiri rumah ini adalah makam keluarga kami. Astaghfirullah...seketika bergidik juga membayangkan barisan makam para simbahku itu.
"Allah..Allah..Allah..."
Aku terus berlari terseok-seok. Seketika teringat kematian menghampiri. Di saat seperti ini aku merasa bersalah kepada mas Pri yang aku tinggal purik. Ya, mas Pri adalah suamiku yang super egois. Kami menikah baru 5 tahun tapi kayanya aku dah ga kuat lagi. Dulu aku pikir mas Pri adalah sosok penuh kasih sayang, romantis dan pengertian. Dia kalem, pendiem dan berwibawa. Namun nyatanya, tak pernah terucap darinya kata makasih, I love you atau apalah gitu. Beda dengan suami mba Mira yang sudah menikah 10 tahun. Mereka masih say lop lop an, suaminya rajin bantu nyuci piring dan beberes rumah. Aku pikir mba Mira sungguh beruntung.
Tapi pernah aku tanya langsung mba Mira tentang rumah tangganya dan suaminya. Dia malah mewek sesenggukan. Katanya suaminya pelit banget. Apa apa dibatasi. Uang belanja hanya diberi uang pas jadi kalau di tengah bulan suka bingung karena uang belanja dah habis. Suaminya ga mau tau. Taunya uang yang diberikan nya harus cukup untuk sebulan. Memang sih suaminya itu rajin bantu bantu beberes rumah dan nyuci piring, tapi kalau masalah uang, pelitnya minta ampun.
Ya Robb... ternyata yang kulihat indah belum tentu indah dalam kenyataannya. Meski mas Pri jarang bantu bantu pekerjaan rumah, dia selalu ingat makanan favorit ku. Setiap pulang kerja, pasti ada martabak manis, cilok dan susu jahe panas. Pasti di perjalanan pulang kerja malam hari itu , meski lelah, dia sempatkan mampir untuk beli jajanan itu. Ah, kasihan juga mas Pri. maafkan aku mas Pri.
Aku baru sadar bahwa dalam rumah tangga itu memang tak selamanya mulus. Kerikil dan bebatuan tajam pasti ada di tengah tengah perjalanan ini. Namun semua itu harus diselesaikan dengan baik, dibicarakan dengan baik. Kadang hati ini nyesek kalau melihat suami orang yang begitu baik kepada istrinya. Tapi ternyata mereka pun tak selamanya benar benar baik atau bahagia. Orang Jawa bilang urip iku mung Wang Sinawang yang kita lihat baik belum tentu baik. Rumput tetangga lebih hijau dari rumput kita eh ternyata setelah dilihat, rumput tetangga itu terbuat dari plastik. Pantesan hijau terus...hihi..😅
Seketika lamunanku tentang mas Pri buyar. Kudengar raksasa itu memanggil manggil lagi.
"Kamu sembunyi dimana hah? Ayo kemari, aku datang untuk kamu. Kamu harus penuhi janjimu pada ku, hahahaha...."
Ah suara raksasa itu terdengar lagi. Aku sengaja bersembunyi di bawah meja jati yang ada di belakang pintu samping. Sepertinya meja ini memang sengaja diletakkan disini sebagai ganjal penutup pintu.
Ah berat sekali meja ini. Aku coba geser biar aku bisa segera keluar. Masa bodo di luar sana ada barisan makam para simbah, yang penting aku tidak ditangkap raksasa' amburadul itu. Entah muncul dari mana raksasa itu tiba-tiba saja sudah memaksaku keluar dari kamar utama sampai harus berakhir di ujung pintu makam ini.
Sesekali aku usap air mataku yang bercampur dengan keringat. Perih, pedih dan nyesek. Purik yang aku anggap sebagai aksi proteksi pada mas Pri berakhir tragis seperti ini. Mungkin ini karma untuk istri seperti aku ini. Maafkan aku mas Pri, aku berjanji kalau aku bisa lepas dari raksasa amburadul ini, aku ga akan membanding bandingkankan lagi. Aku ga akan sakit hati dengan sikap dinginmu itu, karena sebenarnya mas Pri itu benar benar sayang ama aku tapi mungkin cara mengungkapkannya yg berbeda. Maafkan aku mas...
Setelah plong memantapkan hati, kulihat raksasa hitam amburadul itu semakin dekat dan dekat. Di bagian tangan dan kakinya banyak sekali juntaian seperti rumbai kain kain.
#Ah jangan dekati aku, jangan...pergi kamu...ah tolonggg...tolong.....".
"Dek...dek...bangun dek....bangun"
"Puk...puk..puk.." terasa tepukan tangan mendarat di pipiku. Perlahan kubuka mata dengan berat sekali. Kulihat sosok besar di depanku sedang berdiri tegak. Segera aku mundur sambil mendekap sebuah buku yang ada di dadaku.
"Astaghfirullah, kamu kenapa teriak teriak minta tolong. Dikejar-kejar setan?"
Ah, itu mas Pri. Kukira raksasa amburadul tadi. Setelah itu dia berlalu begitu saja. Mbok ditanya gitu, tadi mimpi apa. Huh..
" Makanya kalau mau nyetrika itu mbok ya langsung nyetrika, jangan malah baca buku. Ya jadinya ketiduran, dah gitu pasti mimpi aneh karena baca buku melow itu" , mas Pri akhirnya buka suara di ruang sebelah.
Aku lihat keadaanku yang berantakan. Aku tertidur di tumpukan baju baju yang tadinya hendak aku setrika. Dan di tanganku ada bukunya Asma Nadia, Catatan Hati Seorang Istri. Duh buku ini sukses membuatku mewek. Ternyata banyak juga kisah suami istri yang memilukan.
Tiba tiba aku teringat mimpi dikejar-kejar raksasa amburadul itu. Aku yakin mimpiku itu hasil perpaduan kejengkelanku dengan tumpukan setrikaan ini, sedangkan mas Pri ga mau membantuku sama sekali. Ya, raksasa itu seperti tumpukan baju yg semakin menggunung setiap harinya. Entah mengapa, urusan seterika aku paling ga suka. Akhirnya baju kering kemarin dan kemarinnya lagi bertumpuk belum sempat disetrika juga. Baju baju itu semakin hari semakin tinggi dan tinggi seperti raksasa yang amburadul itu. Astaghfirullah....
Segera aku bangkit dan berdiri sambil membawa buku melow ini. Kuletakkan Buku itu di meja dekat jendela. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Sejak jam 9 tadi memang aku sudah niat untuk menyetrika tumpukan baju itu. Alasnya sudah digelar, bajunya dah aku pilah pilah. Tapi sambil menunggu setrikaan panas, aku ambil buku catatan hati seorang istri. Buku itu sebenarnya sudah khatam aku baca, tapi entah kenapa aku pengen baca lagi. Akhirnya, baca bukunya makin asik, aku matikan setrikanya. Aku beranjak ke dapur, sekalian aku bikin kopi susu panas. Eh, maksud hati biar melek dan semangat nyetrika malah sukses tertidur di tumpukan baju kucel.
Lalu kutatap tumpukan baju di depanku. Ah andai saja aku tidak menunda nunda menyetrika baju baju itu, pasti ga bakalan seperti gunung bengkak.
Ya seperti kita tahu, menunda nunda pekerjaan itu awalnya enak, toh masih banyak waktu. Menunda nunda pekerjaan itu biasanya menggunakan dalil nunggu moodnya baik untuk memulainya. Misal kemarin kemarin aku nunda nyetrika pas malem aja ketika anak anak sudah tidur. Eh pas dah suasana hening, malah ngantuk dan tertidur. Kejadian ini setiap hari berulang dan berulang. Akhirnya bukannya selesai pekerjaan kita malah makin numpuk dan numpuk. Parahnya lagi malah mimpi dikejar raksasa amburadul segala.. astaghfirullah.
"Dah ga usah mewek lihat setrikaan menggunung. Mau dipanggilin mba Inem kamu ga mau, katanya dah sepuh kasihan. Trus katanya bisa ngerjain sendiri" , mas Pri mulai ceramah. Ah sebelum panjang lebar ceramahnya, mending segera aku selesaikan. Dan aku berjanji besok besok jangan sampai nunda nunda lagi nyetriknya. Nunda setrikaan itu berat Mak ternyata.
Segera aku ambil tas palstik besar bermotif bunga bunga. Aku masukkan baju baju itu dengan dilipat ala kadarnya. Jadilah tas itu terisi penuh. Segera aku tarik resletingnya dan tertutup rapi. Kini tumpukan baju itu telah berpindah tempat ke dalam tas plastik besar bermotif bunga bunga. Mas Pri masuk kamar lagi, dia terlihat agak heran melihat semua tumpukan baju itu hilang seketika.
"Loh, kemana baju baju itu? Cepet amat nyetrikanya"
"Iya mas, biar cepet nyetrikanya bajunya besok aku setorin ke Laundry nya teh Reni. Kata teh Reni, Nyetrika itu berat Mak, biar aku aja . Gitu mas..."
"Ealah... akhirnya ke Laundry juga. Oke, asal jatah martabak manis, cilok dan susu jahe selama sebulan ini libur dulu ya" kerling mas Pri merasa menang.
"Ampun kangmas......" segera mendarat serbuan cubitanku ke lengan mas Pri.
Ah, happy ending deh 😍😍
Bagaimana kabar setrikaanmu Mak? Pokok e happy selalu ya Mak. 🥰🥰
#INLPS
#NLP
#AkuMenulis
#NLPforEmakEmak
Komentar
Posting Komentar