Sepenggal Kisah dari Ruang IGD
Mungkin cerita ini biasa saja bagi para dokter, perawat atau tenaga kesehatan yang setiap hari mengabdi dan melayani masyarakat di rumah sakit terutama di instalasi gawat darurat. Namun bagi saya yang alhamdulillah jarang masuk RS kecuali karena lahiran dan operasi farm beberapa tahun yang lalu, cerita dan situasi di IGD itu luar biasa , mengandung banyak bawang dan hikmahnya. Tulisan ini saya buat sambil menunggu anak saya yang nomor 4, Aira, di RS Pena 98 karena DBD dan tipes di penghujung bulan Oktober 2022 ini.
Menunggu anak sakit sambil menulis? Ya, karena menulis adalah cara saya melepaskan emosi emosi negatif, menguraikannya dan merajutnya kembali menjadi emosi emosi positif yang membuat saya bangkit lagi.
Oiya, sedikit pendahuluan, sebelum Aira dirawat, pekan sebelumnya kakaknya yang kuliah di IPB sudah masuk rumah sakit duluan selama 6 hari dengan diagnosa DBD. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya saat itu. Anak jauh dari rumah sedang menuntut ilmu, sakit dan dirawat teman teman kampus dan teman teman asramanya. Sebagai ibu, pengen banget saat itu juga terbang kesana. Selang sehari dirawat kami baru bisa menjenguknya dengan personil komplit, adik adik mbak Dhila tak mau ketinggalan.
Keikutsertaan adik adiknya mbak Dhila sebenarnya sudah diingatkan tetangga saya. Tapi apa daya, saya tidak mempunyai keluarga dekat yang bisa dititipin mereka. Al hasil kami berangkat nengok mbak Dhila dengan formasi lengkap.
Namun, qodarullah, sehari setelah kami nengok mbak Dhila dan sempat mampir di asrama yang ternyata penghuni asramanya yang kena DBD ada 4 orang (kabar terbaru, ada 2 orang lagi yang DBD dan dirawat), Aira panas tinggi dan dari situlah didiagnosa tipes dan DBD. Kaki ini terasa tidak menapak tanah, melayang dan pikiran pun kacau balau.
Lanjut ya..
Sebelum masuk rawat inap, saya menunggui Aira di IGD yang hari itu full bed. Banyak pasien diluar sana yang ditolak karena tidak muat. Kami pun sempat mau pindah rumah sakit, namun suami melobi agar anak kami bisa ditangani segera karena kondisinya sudah lemas (trombosit di angka 47rb dari normal 150rb). Di IGD inilah banyak cerita sedih yang membuat saya banyak istighfar sekaligus banyak bersyukur.
Baru beberapa menit Aira di IGD, kami sudah disuguhi moment sakaratul maut seorang bapak bapak. Saya tidak tahu pasti apa penyebab beliau sakit. Yang saya tahu ketika kami masuk, anak anak beliau sudah menangis lirih. Ada seorang ibu yang melantunkan kalimat tahlil menuntun sang bapak. Namun sang bapak tidak meresponnya. Dokter dan beberapa tenaga kesehatan lainnya terus berupaya dengan tindakan yang sering kita lihat di film film itu, kalau ga salah CPR namanya. Saya yakin mereka sudah berusaha maksimal. Terdengar suara alat alat pemacu jantung dipompakan. Namun ketika salah seorang dokter menyatakan bapak itu sudah meninggal di jam 11.27, maka pecahlah tangis sanak keluarganya. Kami yang berada di IGD pun ikut larut dalam kesedihan itu. Namun untuk menjaga perasaan pasien lainnya, pihak keluarga diperkenankan keluar dari ruang IGD dan hanya beberapa anggota keluarga saja yang masih tetap di situ sambil melantunkan surat Yasin dengan suara berat dan terbata bata.
Ya Allah, terbayang seperti apa drama sakaratul mautku nanti.
Masih sambil menunggu di ruang IGD, terdengar seorang bapak bapak juga masuk ruang IGD sambil membawa temannya yang memegang jari jari tangannya. Mereka adalah tukang bangunan dan mandornya, terlihat dari pakaian bapak bapak tersebut yang penuh dengan debu.
Ruang IGD yang terdiri dari beberapa bed yang hanya disekat tirai tirai berwarna biru membuat kami bisa mendengar jelas apa saja pembicaraan para tenaga kesehatan dan pasien pasiennya. Saya yang ciut nyalinya, berusaha menutup telinga agar tidak mendengar kejadian kejadian yang mengiris hati.
Benar saja, salah seorang bapak tukang bangunan itu dua jarinya terkena gerindra. Allahuakbar!! Gemetar saya mendengarnya. Namun saya lihat bapak itu tidak mengerang kesakitan, hanya agak meringis menahan sakit. Akhirnya jari bapak itu sementara dijahit kulitnya saja, untuk tulang jarinya akan dioperasi. Dan tahu ga berapa biaya operasi dua ruas tulang jari tangan bapak itu? 20 juta say..
Dari scene kedua ini saya merasa malu sama Allah. Malu sekali. Jari jari yang saya punya ini sering luput dari rasa syukur. Jari jari tangan ini hanya bisa menengadah saja meminta dan meminta. Jari jari ini terlupakan bahwa nilainya begitu berharga. Satu ruas jari dihargai 10 juta untuk menyambungkannya. Lalu ada berapa ruas jari yang kita miliki dengan sempurna? Berapa puluh juta harta yang kita miliki dari ruas ruas jari kita ini? Allahu Akbar!
Sebelum lanjut ke cerita berikutnya, saya ingin berterima kasih kepada para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Mereka begitu ramah dan tulus melayani para pasiennya. Ketika mereka mau melakukan tindakan, seperti pasang jarum infus, mereka akan minta ijin kepada pasiennya. Apalagi kepada pasien anak, mereka juga meminta maaf ketika jarum infus itu menyakiti mereka. Senyum dan ucapan lembutnya membuat tenang pasien dan keluarganya. Namun, saya yakin dibalik senyum ramah, ceria dan tulus mereka tersimpan banyak cerita hidup masing masing. Asam manis cerita hidup mereka bisa jadi lebih berat daripada saya yang hanya di rumah saja. Sedangkan mereka, selain mengurus rumah tangga, pastinya banyak melihat, mendengar, dan merasakan kisah kisah di tempat kerjanya, di IGD ini. Tetap semangat ya pak bu dokter dan tenaga kesehatan lainnya!!
Lanjut ya…ini cerita terakhir deh.
Masih sambil menunggu ruang rawat inap dipersiapkan, datang seorang bapak dengan kaos singlet dan celana kolor. Bapak tersebut masuk ruang IGD sambil membopong seorang anak lelaki berumur sekitar 8 tahunan. Wajah bapak itu pucat dan berteriak teriak memanggil dokter untuk segera membantunya. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya segera membantu dan menangani anak tersebut. Dibawanya anak itu ke salah satu ruangan IGD tepat di depan bed anak saya. Ternyata anak itu jatuh dari pohon dan tangannya patah. Allahu Akbar!
Sambil berusaha menutup telinga, namun saya masih mendengar percakapan dokter dan si anak tadi. Di dalam ruangan tersebut para tenaga kesehatan segera memberikan pertolongan diselingi rintihan si anak menahan kesakitan. Tak selang beberapa lama, datang seorang ibu yang wajahnya mirip dengan anak itu. Dia membawakan baju dan celana untuk suaminya atau bapak si anak itu. Selanjutnya bisa dibayangkan episode seperti apa yang terjadi didalam ruangan itu.
Dari kejadian ketiga ini saya mengambil hikmah dari sudut pandang orang tua terutama ayah. Ketika mendengar atau melihat anaknya terkena musibah, seorang ayah tidak akan memperdulikan keadaannya. Dia akan segera mungkin menangani anaknya. Dia tidak peduli apakah baju yang dikenakan saat itu pantas atau tidak yang penting anaknya selamat. Ayah yang sebagian besar memiliki bahasa cinta nonverbal akan dengan sigap melindungi atau menyelamatkan anaknya. Tak perlu kata kata romantis untuk menyatakan cinta pada keluarganya, cukup tindakan yang nyata. Itulah ayah.
Akhirnya selesai juga sepenggal kisah dari ruang IGD ini. Sebenarnya masih banyak kisah yang membuat hati ini terus beristighfar dan bersyukur. Benarlah kata sebuah ungkapan bahwa pergunakanlah waktu sehatmu sebaik baiknya sebelum datangnya waktu sakitmu. Ketika kita sehat biasanya beribadah ala kadarnya, membaca quran seingatnya, menyayangi keluarga sekedarnya dan lebih banyak menyia nyiakan waktu dengan kegiatan yang tak berfaedah. Astagfirullah…astagfirullah…astagfirullah. Ampuni kami, maafkan kami, dan berikan kami hidayah Mu selalu ya Allah. Aamiin.
"Sebenarnya yang mahal di dunia ini adalah waktu. Karena waktu tidak bisa kembali dan tidak bisa dibeli. Maka jangan sia siakan"
Komentar
Posting Komentar