Kacamata Bu Guru
By: Yeyen Robiah
Menjadi guru adalah cita-cita yang mulia sekaligus berat. Guru dalam filsafat Jawa berarti digugu lan ditiru. Digugu artinya dia dipercaya. Baik dalam perkataannya maupun tindakan. Dengan dipercaya ini berarti dia harus bisa mempertanggung jawabkan apa apa yang sudah dia ajarkan dan dia sampaikan. Sedangkan ditiru artinya guru itu sosok yang patut diteladani, dicontoh atau dijadikan model bagi anak muridnya. Jadi inilah yang menjadikan seorang guru itu profesi yang mulia sekaligus berat.
Namun jika dilihat arti secara umum, sejatinya setiap kita adalah guru yaitu orang yang patut dipercaya dan ditiru. Yang menyampaikan ajaran ajaran kebaikan, ilmu pengetahuan baik secara formal maupun non formal. Orang tua menjadi guru bagi anak anaknya, kakak menjadi guru bagi adik adiknya, tetangga menjadi guru bagi tetangga lainnya dll. Dan kehidupan ini menjadi guru bagi kita para pelakunya yang siap mengambil hikmah dari setiap episode kehidupan.
Karena begitu melekat nya sosok guru dalam kehidupan kita, terutama guru kita di sekolah formal, tak dapat disangkal kalau sampai kita dewasa dan menjadi orang tua sekarang ini, beberapa sosok guru masih kita kenang, dari caranya mengajar, mimik wajahnya, warna bajunya, karakter uniknya dll. Coba masih ingat ga siapa nama guru kelas 1 waktu SD? Bagaimana wajahnya? Bagaimana senyumannya? Atau bagaimana cara ngajarnya?
Mengapa guru kelas 1 yang saya tanyakan? Ya, karena kelas 1 SD adalah masa pertama dimana kita benar benar belajar dari nol. Anak kelahiran 80 an sudah dipastikan kelas 1 nya pernah belajar membaca ini Budi ini wati. Masih ingatkan bukunya dan gambar tokoh si Budi nya? Wah melegenda banget tuh buku. Ah jadi kangen masa itu π₯°π₯°
Tentang guru kelas 1, masih kuat dalam ingatan saya, sosok Bu guru berkacamata yang setiap saat selalu tersenyum. Bu guru dengan baju semi kebaya dengan kerudung putih panjang yang menutupi rambut beliau yang kedua ujung nya disamperke' ke bahu kanan kiri. Bu guru yang selalu menenteng tas coklat kotaknya yang setiap memasuki gerbang sekolah selalu menjadi rebutan anak muridnya untuk membawakannya. Ingat sekali kacamata beliau yang bulat dengan frame putih tipis dan ada tali rantai di samping kanan kirinya. Beliau terlihat lemah lembut, keibuan,wajahnya teduh, manis dan penuh kesabaran.
Kalau ingat Bu guru kelas 1 yang berkacamata dengan senyum keibuannya itu , saya jadi ingat ketika saya menjadi guru di sebuah SD swasta di Tangerang beberapa tahun silam. Saat itu saya juga berkacamata. Kacamata satu satunya yang saya punya yang setia menemani saya ketika saya harus membaca tulisan anak anak dari yang rapi sampai yang kaya sandi rumput. Kacamata yang berbentuk kotak persegi panjang dengan frame coklat gelap tebal saya pilih waktu itu untuk menyamarkan mata saya agar terlihat ga terlalu sipit. Namun siapa sangka kacamata yang saya pakai itu, kata beberapa murid saya, memberi kesan bahwa saya guru yang galak, sombong dan pendiam. Tapi kalau dah kenal mah sifat itu kebalikannya, hehe...π
Saya sempat berpikir, apakah orang lain berprasangka sama dengan murid saya itu. Dengan kacamata ini, apalagi kalau pas ga senyum, pas sakit gigi atau pas sinusnya kumat, saya pasti lebih terlihat galak, sombong dan pendiam.
Akhirnya, ketika saya ada dana nganggur, saya coba beli kacamata lagi. Kini frame yang saya pilih warna ungu. Meski masih dengan warna ungu yang agak tua, paling tidak dah ga ada kesan galaknya lagi, itu kata anak murid saya.
Dari kacamata ini saya jadi berpikir bahwa warna frame kacamata itu bisa mempengaruhi orang lain dalam menilai kita, meski penilaiannya ga betul seratus persen. Masih ingat kan Bu guru saya kelas 1 dulu, beliau terlihat lemah lembut dan keibuan dengan kacamata putihnya, lalu saya yang terlihat agak galak dan pendiam dengan kacamata frame coklat tua dan akhirnya saya jadi terlihat lebih ceria dan familiar dengan kacamata frame ungu mudanya? Tapi jujur, saya lebih nyaman dengan kacamata frame gelap, hehe...βΊοΈ
Ternyata fenomena ini dipelajari dalam NLP. Dalam NLP kita belajar yang namanya reframing. Sependek saya saya pahami reframing adalah kegiatan membingkai ulang peristiwa untuk mengubah emosi negatif menjadi positif. Misalnya nih dalam kisah frame kacamata diatas, ternyata bisa Lo kita aplikasikan ke kejadian atau aktivitas sehari-hari. Misal ketika ada orang merendahkan kita, ada dua kubu dalam meresponnya. Kubu pertama menganggap bahwa sikap merendahkan itu sangat menyakitkan hatinya. Makanya dia akan merasa marah, sedih dan kecewa. Namun di kubu yang kedua dia meresponnya dengan positif bahwa sikap merendahkannya itu bukanlah merendahkan baginya. Dia mengubah frame ucapan ucapan negatif itu sebagai kritik yang membangun baginya. Menurut dia kritikan itu pertanda orang itu sayang padanya. Makanya dia malah merasa termotivasi untuk memperbaiki diri.
Contoh lain, ketika ada orang yang bilang ke kita, "Ah, suara kamu kenceng banget sih!" Boleh jadi kita marah ya karena orang itu seakan akan memberitahu kita bahwa suara kita keras dan mengganggunya. Tapi coba kalau kita reframing dengan konteks yang berbeda maka hasilnya tidak akan membuat kita ikutan marah ataupun sakit hati. Misal kita reframing bahwa kalau suara kita keras itu bagus Lo buat ngajar, jadi anak anak bisa mendengarkan dengan jelas, meski ruangannya luas. Atau dengan suara keras kita bisa Lo jadi pemimpin pengajian ibu ibu, jadi ga perlu mikrofon dan ibu ibu pengajian yang sebagian besar para lansia pun bisa mendengarkan ceramah kita.
So, finally, kejadian apapun bisa kita reframing menjadi keajadian yang lebih bermakna positif, kejadian yang memberi energi positif dan kejadian yang memberdayakan kita, bukan memperdayakan kita. Semua itu masih ada dalam kendali kita. Tindakan kita, perasaan kita dan pikiran kita adalah 3 hal yang bisa kita kendalikan. Kita bisa mengendalikannya dengan teknik reframing kejadian kejadian yang kita alami, terutama kejadian yang negatif menjadi sebuah kejadian yang positif. Dengan begini hidup kita lebih happy, bahagia dan bermakna. Caiyooo Mak...ππ
Are you ready Mak?
Ready dong ...π₯°π₯°π₯°
#NLP
#INLPS
#AkuMenulis
#NLPforEmakEmak
Komentar
Posting Komentar