Waktu Tersisa
By: Yeyen Robiah
Malam mulai merayap pelan ditemani temaramnya rembulan dan kerlingan para bintang. Hening, sunyi dan damai, seakan siap mengantarkan semua makhluk ke peraduan untuk sekedar melepas lelah seharian.
Waktu berjalan terus maju dan takkan pernah mundur. Cepat sekali seperti anak panah yang melesat. Setelah menengok anak anak di kamarnya masing masing, menatap wajahnya satu persatu dan menyusuri garis garis kehidupan yang telah terpatri dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku merasa bersalah. Banyak waktu yang terlewatkan bersama mereka.
Dulu ketika mereka masih kecil hingga kini menjelang remaja, aku merasa tak pernah hadir seutuhnya ketika membersamai mereka. Meski bukan sebagai wanita karier, aku lebih banyak berasik ria di depan laptop dan hp. Beragam pembenaran dan pembelaan sering aku debatkan pada diri sendiri. Demi menjadi mompreneur kek atau demi ga dicap anti sosial kek dll, akhirnya aku banyak menghabiskan waktu berbasa basi di grup grup alumni dan atau komunitas bisnis. Lalu anak anak? masih di sampingku sih waktu itu, hanya saja ditemani tivi ataupun youtube dengan kids channel nya. Hiksss….
Teringat semua itu, kepalaku terasa pusing, nafasku mulai berat seperti ada batu besar di dalam dada. Batu besar penyesalan yang tak terkira.
Kulayangkan pandanganku ke sekeliling ruang tengah, tempatku kini berada. Kulihat di dinding beberapa foto wisuda TK anak anakku.. Perlahan kuambil foto foto yang menempel di dinding yang membisu. Anak anak yang kemarin masih bayi mungil yang menggemaskan, kini telah menjelma sosok gadis dan bujang yang cantik dan gagah. Bayi yang dulu bisanya hanya merengek ketika haus dan lapar, kini lebih banyak diam dan menyendiri di kamar dengan teman dan dunia barunya. Bahkan ada diantara mereka yang kini sudah melangkah keluar rumah ini untuk menjemput impiannya. Kini mereka tak butuh lagi menguntit ibunya berbelanja, atau bahkan ke kamar mandi. Kini mereka bisa kemana saja mereka suka. Ah waktu begitu cepat berlalu, rindu menimang dan menggendong mereka.
Malam semakin larut selarut aku mengenang masa lalu dimana rumah ini masih ramai dengan riuh rendah canda tawa mereka. Omelan sampai teriakan sering bergema waktu itu mengiringi derap langkah mereka yang berlarian kesana kemari bahkan mengiringi ulah mereka yang kadang ,menggemaskan dan kadang menjengkelkan. Kini semua itu perlahan pergi menjauh, menjauh dan menjauh.
Masih kupegang foto wisuda mereka lucu dan menggemaskan kala itu. Terbayang saat difoto mereka begitu susah untuk diarahkan. Senyum, Nak. Hadap depan, Nak. Jangan berkedip, Nak dan serangkaian perintah lainnya agar mereka tampil manis di foto. Kuusap foto wajah mereka satu persatu, kubersihkan debu tipis yang menempel. Tak terasa butiran hangat mengalir lembut di sela sela kacamata yang mulai buram ini. Sebegitu cepatkah waktu ini berlalu? Padahal aku belum memberi yang terbaik untuk mereka. Dada mulai bergemuruh seakan ingin mengeluarkan segunung dosa yang pernah aku lakukan selama ini. Segunung dosa dan berbukit bukit penyesalan karena aku belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk mereka.
Dulu kami berpikir bahwa kami yang akan mengajari mereka kuat dalam menghadapi lika likunya dunia, nyatanya kamilah yang belajar dari mereka tentang arti kuat yang sebenarnya.
Dulu kami berpikir bahwa kami yang akan mengajari mereka arti kesabaran, nyatanya kamilah yang belajar arti kesabaran yang tanpa batas dari mereka.
Dulu kami berpikir bahwa kami yang akan mengajari mereka ketegaran dalam menghadapi masalah yang ada, tapi nyatanya kamilah yang belajar ketegaran yang sesungguhnya dari mereka.
Dulu kami berpikir bahwa kamilah yang akan mengajari mereka cara memaafkan, tapi sekali lagi kami salah, kamilah yang justru belajar memaafkan setulus hati dari mereka.
Perlahan aku bangkit dari kursi rotan tua ini, ku tempelkan kembali satu persatu foto wisuda TK mereka di dinding yang masih tetap membisu. Malam makin larut dan semakin syahdu karena rintik hujan mulai turun di luar sana. Butiran hangat itu mulai mengering setelah kuseka dengan ujung lengan daster hitam ini. Rasa gemuruh di dada mulai teratur dan tenang. Perasaan ketika mengenang masa kecil mereka yang tak sempurna mulai terhempas satu persatu. Tak ada gunanya rasa penyesalan ini. Aku, kami, orang tuanya, juga manusia yang tak sempurna yang sering lalai dan lupa. Tapi kami juga manusia yang dianugerahi akal pikiran. Semua kesalaahn di masa lalu memang tak bisa dihapus begitu saja tapi beruntung masih ada waktu untuk diperbaiki.
Dengan mengatur kembali pikiran pikiran yang ada, kami siap menciptakan perasaan perasan baru yang lebih positif dalam menghadapi anak anak yang kini beranjak remaja. Berharap dengan perasaan yang baru ini kami lebih bisa berperilaku positif, menyenangkan, membahagiakan dan pastinya memberdayakan.
Dengan waktu yang tersisa kini, kami mengazamkan dalam diri akan lebih menyadari sepenuhnya dan seutuhnya kehadiran kami dalam membersamai anak anak. Hadir sepenuhnya dan hadir seutuhnya, jiwa dan raga kami untuk mendengarkan segala keluh kesah mereka, cerita nano nano mereka, harapan dan impian mereka. Dengan waktu tersisa ini, kami siap membersamai mereka dengan energi baru yang lebih positif memancarkan kebaikan dan kebermanfaatan yang lebih baik agar dunia yang sebentar ini tak menjadikan penyesalan bagi kami yang di hari nanti.
#RenunganJumat
Komentar
Posting Komentar